Bahan Ajar SMK Teknik Mekanik Otomotif

Tehnik Kendaran Ringan

Selasa, 18 Maret 2014

OPTIMALISASI PEMBELAJARAN SENI DI PERGURUAN TINGGI




OPTIMALISASI PEMBELAJARAN SENI
DI PERGURUAN TINGGI
Oleh : Wembrayarli, S.Pd.M.Sn[1]


A.  PENDAHULUAN
Pendidikan seni sudah harus diberikan pada tingkat pendidikan yang paling dini, yaitu mulai dari taman kanak-kanak (TK) sampai dengan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). Namun demikian pendidikan seni tidak boleh diberikan secara serampangan, harus ada kerangka teori dan metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Contoh yang paling krusial yang selama ini belum dilakukan dalam proses pendidikan seni di sekolah menurut Jamran (2007) adalah belum diterapkannya periodesasi psikologi anak dalam proses pendidikan seni. Periodesasi psikologi ini harus diterapkan agar anak melewati masa psikologi secara benar. Untuk kegiatan pengembangan kapasitas (fisik, mental, sosial) merupakan satu tuntutan mutlak untuk mempertimbangkan tingkat-tingkat perkembangan biologis dan psikologis. Pada tahapan umur yang berbeda, perbedaan karakter perkembangan pada tingkat umur tertentu telah dijelaskan oleh banyak ahli perkembangan fisik dan psikologi, menuntut respon yang berbeda. Inilah yang harusnya menjadi landasan dalam proses pendidikan seni.
Namun yang terjadi saat ini, pendidikan seni masih belum berjalan sebagaimana mestinya, khususnya pada proses pendidikan usia dini dan sekolah dasar. Padahal pendidikan seni pada tahap ini sangatlah penting. Karena selain berdiri sendiri sebagai mata pelajaran bidang studi, pendidikan seni juga mampu menjadi media bagi mata pelajaran atau bidang studi lain. Dan yang lebih penting lagi bahwa pendidikan seni kalau diberikan secara benar, ia mampu memberi kontribusi yang optimal bagi keseimbangan perkembanganotak kanan dan otak kiri (afeksi dan kognisi).
Persoalan pendidikan seni di sekolah belum terlaksana sebagaimana mestinya, yakni sebagai kegiatan pemberian pengalaman estetik, ekspresif, dan kreatif, yang bermakna untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, karena beberapa faktor, antara lain: guru, kebijakan pendidikan dan fasilitas pendukung pembelajaran (Jamran, 2007). Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mempersiapkan mahasiswa PG-PAUD, sebagai calon pendidik anak usia dini dengan keilmuan yang berhubungan dengan teori dan praktek seni, sehingga pada saatnya nanti dapat berkontribusi meningkatkan kualitas pembelajaran seni pada lembaga-lembaga pendidikan anak usia dini. 
Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PG-PAUD) adalah salah satu lembaga pendidikan tinggi yang bertanggung jawab menghasilkan guru di taman kanak-kanak dan sekolah dasar kelas rendah yang memandang penting revitalisasi kurikulum, khususnya pendidikan seni. Faktor guru sebagaimana dikemukakan di atas relevan dengan eksistensi program studi PG-PAUD FIP UNP.
Sesuai tuntutan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, maka jurusan PGTK FIP UNP dengan jenjang pendidikan diploma II (D2) dikembangkan menjadi jurusan PG-PAUD FIP UNP dengan jenjang pendidikan sarjana (S1). Dampak perubahan ini salah satunya adalah perubahan kurikulum dan orientasi pembelajaran, termasuk pula pembelajaran pendidikan seni. Pembelajaran seni yang berorientasi penguasaan seni secara praktis (sesuai karakteristik pendidikan pada jenjang diploma) diubah menjadi lebih berorientasi pada kegiatan praktek dengan teori yang lebur didalamnya (sesuai karakteristik pendidikan pada jenjang sarjana).
Demikian pentingnya pendidikan seni, sehingga perlu dilakukan optimalisasi pembelajaran seni pada anak usia dini. PG-PAUD FIP UNP sebagai lembaga pendidikan tinggi yang menghasilkan guru anak usia dini dapat melakukan optimalisasi pembelajaran seni dengan membenahi beberapa hal, antara lain: kurikulum, metode dan media pembelajaran. Tulisan ini akan memberikan paparan tentang kurikulum, metode dan fasilitas pendukung pembelajaran yang ideal di PG-PAUD FIP UNP, agar kualitas pembelajaran seni dapat ditingkatkan, sehingga output-nya memiliki daya saing yang tinggi.

B.  PEMBAHASAN
1.   Kurikulum
Anak usia 4-6 tahun merupakan bagian dari anak usia dini yang berada pada rentangan usia lahir sampai 6 tahun. Pada usia ini secara terminologi disebut sebagai anak usia prasekolah. Perkembangan kecerdasan pada masa ini mengalami peningkatan dari 50% menjadi 80%. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian/kajian yang dilakukan oleh Pusat Kurikulum, Balitbang Diknas tahun 1999 menunjukkan bahwa hampir pada seluruh aspek perkembangan anak yang masuk TK mempunyai kemampuan lebih tinggi daripada anak yang tidak masuk TK di kelas I SD (Depdiknas, 2002).
Usia 4-6 tahun, merupakan masa peka bagi anak. Anak mulai sensitif untuk menerima berbagai upaya perkembangan seluruh potensi anak. Masa peka adalah masa terjadinya pematangan fungsi-fungsi fisik dan psikis yang siap merespon stimulasi yang diberikan oleh lingkungan. Masa ini merupakan masa untuk meletakkan dasar pertama dalam mengembangkan kemampuan fisik, kognitif, bahasa, sosial emosional, konsep diri, disiplin, kemandirian, seni, moral, dan nilai-nilai agama. Oleh sebab itu dibutuhkan kondisi dan stimulasi yang sesuai dengan kebutuhan anak agar pertumbuhan dan perkembangan anak tercapai secara optimal (Kamtini dan Husni, 2005: 5-6).
Peran pendidik (orang tua, guru, dan orang dewasa lain) sangat diperlukan dalam upaya pengembangan potensi anak 4 - 6 tahun. Upaya pengembangan tersebut harus dilakukan melalui kegiatan bermain sambil belajar atau belajar seraya bermain. Dengan bermain anak memiliki kesempatan untuk bereksplorasi, menemukan, mengekspresikan perasaan, berkreasi, belajar secara menyenangkan. Selain itu bermain membantu anak mengenal dirinya sendiri, orang lain dan lingkungan. Atas dasar hal tersebut di atas, maka kurikulum dikembangkan dan disusun berdasarkan tahap perkembangan anak untuk mengembangkan seluruh potensi anak.
Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yng ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (Depdiknas, 2002). Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Frobel dalam Sumantri (2005), pendidikan anak usia dini merupakan landasan terpenting bagi perkembangan anak selanjutnya.
Taman Kanak-kanak adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak usia empat tahun sampai enam tahun. Sedangkan, Raudhatul Athfal adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan umum dan pendidikan keagamaan Islam bagi anak berusia empat tahun sampai enam tahun. Lebih lanjut Depdiknas (2002) menambahkan bahwa Taman Kanak-kanak dan Raudatul Athfal sebagai salah satu bentuk pendidikan anak usia dini berfungsi: (1) mengenalkan peraturan dan menanamkan disiplin pada anak; (2) mengenalkan anak dengan dunia sekitar; (3) menumbuhkan sikap dan perilaku yang baik; (4) mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi; (5) mengembangkan keterampilan, kreativitas dan kemampuan yang dimiliki anak; (6) menyiapkan anak untuk memasuki pendidikan dasar.
Sesuai fungsi tersebut, pendidikan anak usia dini diharapkan dapat membantu anak didik mengembangkan berbagai potensi baik psikis dan fisik yang meliputi moral dan nilai-nilai agama, sosial emosional, kognitif, bahasa, fisik/motorik, kemandirian dan seni untuk siap memasuki pendidikan dasar.
Ruang lingkup kurikulum TK dan RA meliputi aspek perkembangan: (1) moral dan nilai-nilai agama; (2) sosial, emosional dan kemandirian; (3) kemampuan berbahasa; (4) kognitif; (5) fisik/motorik; (6) seni. Untuk menyederhanakan lingkup kurikulum dan menghindari tumpang tindih, serta untuk memudahkan guru menyusun program pembelajaran yang sesuai dengan pengalaman mereka, maka aspek-aspek perkembangan tersebut dipadukan dalam bidang pengembangan yang utuh mencakup: bidang pengembangan pembentukan perilaku melalui pembiasaan dan bidang pengembangan kemampuan dasar (Depdiknas, 2002).
Pertama, bidang pengembangan pembentukan perilaku melalui pembiasaan. Pembentukan perilaku melalui pembiasaan merupakan kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus dan ada dalam kehidupan sehari-hari anak sehingga menjadi kebiasaan yang baik. Bidang pengembangan pembentukan perilaku melalui pembiasaan meliputi pengembangan moral dan nilai-nilai agama, serta pengembangan sosial, emosional dan kemandirian. Dari program pengembangan moral dan nilai-nilai agama diharapkan akan meningkatkan ketaqwaan anak terhadap Tuhan yang Maha Esa dan membina sikap anak dalam rangka meletakkan dasar agar anak menjadi warga negara yang baik. Program pengembangan sosial dan kemandirian dimaksudkan untuk membina anak agar dapat mengendalikan emosinya secara wajar dan dapat berinteraksi dengan sesamanya maupun dengan orang dewasa dengan baik serta dapat menolong dirinya sendiri dalam rangka kecakapan hidup.
Kedua, bidang pengembangan kemampuan dasar. Pengembangan kemampuan dasar merupakan kegiatan yang dipersiapkan oleh guru untuk meningkatkan kemampuan dan kreativitas sesuai dengan tahap perkembangan anak. Pengembangan kemampuan dasar tersebut meliputi: (a)       Kemampuan berbahasa. Pengembangan ini bertujuan agar anak mampu mengungkapkan pikiran melalui bahasa yang sederhana secara tepat, mampu berkomunikasi secara efektif dan membangkitkan minat untuk dapat berbahasa Indonesia; (b) Kognitif. Pengembangan ini bertujuan mengembangkan kemampuan berpikir anak untuk dapat mengolah perolehan belajarnya, dapat menemukan bermacam-macam alternatif pemecahan masalah, membantu anak untuk mengembangkan kemampuan logika matematiknya dan pengetahuan akan ruang dan waktu, serta mempunyai kemampuan untuk memilah, mengelompokkan serta mempersiapkan pengembangan kemampuan berpikir teliti; (c) Fisik/motorik. Pengembangan ini bertujuan untuk memperkenalkan dan melatih gerakan kasar dan halus, meningkatkan kemampuan mengelola, mengontrol gerakan tubuh dan koordinasi, serta meningkatkan keterampilan tubuh dan cara hidup sehat sehingga dapat menunjang pertumbuhan jasmani yang kuat, sehat dan terampil; (d) Seni. Pengembangan ini bertujuan agar anak dapat dan mampu menciptakan sesuatu berdasarkan hasil imajinasinya, mengembangkan kepekaan, dan dapat menghargai hasil karya yang kreatif.
Berdasarkan rambu-rambu kurikulum yang berlaku, pengembangan kemampuan dasar anak usia dini dilakukan terhadap 4 (empat) aspek, yaitu: kemampuan berbahasa, kognitif, fisik/motorik dan seni. Dari rambu-rambu ini dapat dilihat bahwa aspek seni mendapat porsi sama pentingnya dengan aspek yang lain, karena pengembangan kemampuan dasar seni bertujuan untuk mengembangkan kepekaan dan dapat menghargai hasil karya yang kreatif. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Sandie (2007), “Pendidikan seni merupakan sarana yang paling efektif bagi pendidikan kreativitas. Pendidikan seni juga dapat menjadi sarana pendidikan afektif untuk menyalurkan emosi dan ekspresi anak. Selain itu, pendidikan seni dapat menjadi pendidikan keterampilan. Jadi secara konseptual, pendidikan seni sangat besar peranannya bagi proses perkembangan anak”.
Kurikulum PG-PAUD FIP UNP seharusnya dikembangkan berdasarkan tuntutan kurikulum pendidikan anak usia dini ini. Bagaimanakah kenyataannya? Pendidikan seni kepada mahasiswa diberikan melalui mata kuliah Seni Suara/Musik (2 SKS), Metodologi Pengembangan Seni Suara AUD (2 SKS), Tari Anak Usia Dini (2 SKS), Menggambar I (3 SKS) dan Menggambar II (3 SKS). Apabila untuk mencapai jenjang pendidikan sarjana, seorang mahasiswa minimal harus mengumpulkan 144 SKS, maka pendidikan seni yang diterimanya di perkuliahan hanya 12 SKS atau 8,33 % dari muatan kurikulum PG-PAUD FIP UNP. Dengan 8,33 % dari muatan kurikulum tersebut, mampukah pendidikan seni mencapai tujuannya sebagaimana yang dituntut dalam kurikulum ? Beberapa fakta yang ditemukan di lapangan tentang rendahnya porsi pendidikan seni dalam kurikulum adalah pada kegiatan Praktek Lapangan Kependidikan (PLK) mahasiswa jenjang Diploma II Jurusan PGTK FIP UNP. Fenomena yang ditemukan, baik melalui observasi maupun laporan pembimbing di lapangan (guru pamong), antara lain: (1) Mahasiswa kurang mampu memperkenalkan lagu baru yang belum dikenal, melalui partitur musik; (2) Mahasiswa kurang mampu mendireksi (memimpin anak menyanyikan lagu-lagu wajib nasional); (3) Mahasiswa kurang mampu memberikan beat (ketukan) yang tepat ketika membimbing anak menyanyikan lagu. Membaca notasi musik, mendireksi dan mengenal unsur musik (irama) adalah tiga aspek yang sangat prinsip yang harus dikuasai seorang guru TK/RA untuk dapat mengajarkan seni dengan baik dan benar.
Untuk meningkatkan dan menyiapkan kemampuan mahasiswa dalam mengajar seni, perlu adanya penambahan alokasi waktu belajar dalam kurikulum. Penambahan dimaksudkan adalah untuk memberikan waktu lebih banyak kepada mahasiswa melakukan praktek musik di tengah kondisi keterbatasan sarana dan prasarana seni di kampus. Selain itu, penambahan alokasi waktu belajar juga dimaksudkan untuk menciptakan budaya berkesenian di kalangan mahasiswa, sehingga pada saatnya nanti mereka dapat aktif, kreatif dan inovatif dalam proses pembelajaran seni di sekolah.

2.   Metode Pembelajaran
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi sumber daya manusia (SDM) melalui kegiatan pengajaran. Ada dua buah konsep kependidikan yang berkaitan dengan lainnya, yaitu belajar (learning) dan pembelajaran (intruction). Konsep belajar berakar pada pihak mahasiswa dan konsep pembelajaran berakar pada pihak pendidik. Dalam proses belajar mengajar (PBM) akan terjadi interaksi antara mahasiswa dan pendidik. Peserta didik adalah seseorang atau sekelompok orang sebagai pencari, penerima pelajaran yang dibutuhkannya, sedang pendidik adalah seseorang atau sekelompok orang yang berprofesi sebagai pengolah kegiatan belajar mengajar dan seperangkat peranan lainnya yang memungkinkan berlangsungnya kegiatan belajar mengajar yang efektif.
Kegiatan belajar mengajar melibatkan beberapa komponen, yaitu mahasiswa, guru (pendidik), tujuan pembelajaran, isi pelajaran, metode mengajar, media dan evaluasi. Tujuan pembelajaran adalah perubahan perilaku dan tingkah laku yang positif dari mahasiswa setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar, seperti : perubahan yang secara psikologis akan tampil dalam tingkah laku (over behaviour) yang dapat diamati melalui alat indera oleh orang lain baik tutur katanya, motorik dan gaya hidupnya. Tujuan pembelajaran yang diinginkan tentu yang optimal, untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pendidik, salah satu diantaranya yang menurut penulis penting adalah metode mengajar.
Mengajar merupakan istilah kunci yang hampir tak pernah luput dari pembahasan mengenai pendidikan karena keeratan hubungan antara keduanya. Metode mengajar dalam dunia pendidikan perlu dimiliki oleh pendidik, karena keberhasilan proses pembelajaran bergantung pada cara mengajar gurunya. Jika cara mengajar gurunya enak menurut mahasiswa, maka mahasiswa akan tekun, rajin, antusias menerima pelajaran yang diberikan, sehingga diharapkan akan terjadi perubahan tingkah laku pada mahasiswa baik tutur katanya, sopan santunnya, motorik dan gaya hidupnya.
Arifin dalam Ardipal (2007) mendefinisikan bahwa mengajar adalah “Suatu rangkaian kegiatan penyampaian bahan pelajaran kepada murid agar dapat menerima, menanggapi, menguasai dan mengembangkan bahan pelajaran itu”. Tyson dan Caroll dalam Prayitno (2005) mengemukakan bahwa mengajar ialah a way working with students... A process of interaction. The teacher does something to student, the students do something in return. Dari definisi itu tergambar bahwa mengajar adalah sebuah cara dan sebuah proses hubungan timbal balik antara mahasiswa dan pendidik yang sama-sama aktif melakukan kegiatan. Nasution dalam Ardipal (2007) berpendapat bahwa mengajar adalah “Suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak, sehingga terjadi proses belajar”. Tardif dalam Prayitno (2005) mendefinisikan, mengajar adalah any action performed by an individual (the teacher) with the intention of facilitating learning in another individual (the learner), yang berarti mengajar adalah perbuatan yang dilakukan seseorang (dalam hal ini pendidik) dengan tujuan membantu atau memudahkan orang lain (dalam hal ini mahasiswa) melakukan kegiatan belajar.
Biggs (1991), seorang pakar psikologi membagi konsep mengajar menjadi tiga macam pengertian yaitu : (1) pengertian kuantitatif dimana mengajar diartikan sebagai the transmission of knowledge, yakni penularan pengetahuan. Dalam hal ini guru hanya perlu menguasai pengetahuan bidang studinya dan menyampaikan kepada mahasiswa dengan sebai-baiknya. Masalah berhasil atau tidaknya mahasiswa bukan tanggung jawab pengajar; (2) pengertian institusional yaitu mengajar berarti the efficient orchestration of teaching skills, yakni penataan segala kemampuan mengajar secara efisien. Dalam hal ini guru dituntut untuk selalu siap mengadaptasikan berbagai teknik mengajar terhadap mahasiswa yang memiliki berbagai macam tipe belajar serta berbeda bakat, kemampuan dan kebutuhannya; (3) pengertian kualitatif dimana mengajar diartikan sebagai the facilitation of learning, yaitu upaya membantu memudahkan kegiatan belajar mahasiswa mencari makna dan pemahamannya sendiri.
Dari definisi-definisi mengajar para pakar di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa mengajar adalah suatu aktivitas yang tersistem dari sebuah lingkungan yang terdiri dari pendidik dan mahasiswa untuk saling berinteraksi dalam melakukan suatu kegiatan sehingga terjadi proses belajar dan tujuan pengajaran tercapai.
Metodologi mengajar banyak ragamnya, seorang pendidik harus memiliki metode mengajar yang beraneka ragam, sehingga dalam proses belajar mengajar tidak menggunakan hanya satu metode saja, tetapi harus divariasikan, yaitu disesuaikan dengan tipe belajar mahasiswa dan kondisi serta situasi yang ada pada saat itu, sehingga tujuan pengajaran yang telah dirumuskan oleh pendidik dapat terwujud/tercapai.
Istilah pembelajaran merupakan padanan dari kata dalam bahasa Inggris in­struction, yang berarti proses membuat orang belajar. Tujuannya ialah membantu orang belajar, atau memanipulasi (merekayasa) lingkungan sehingga memberi kemudahan bagi orang yang belajar. Gagne dan Briggs (1979) mendefinisikan pembela­jaran sebagai suatu rangkaian events (kejadian, peristiwa, kondisi, dan sebagainya) yang secara sengaja dirancang untuk mempenga­ruhi mahasiswa (pembelajar), sehingga proses belajarnya dapat berlangsung dengan mudah. Pembelajaran bukan hanya terbatas pada kejadian yang dilakukan oleh guru saja, melainkan mencakup semua kejadian maupun kegiatan yang mungkin mempunyai pengaruh langsung pada proses belajar manusia.
Pendekatan pembelajaran pada pendidikan anak usia dini dilakukan dengan berpedoman pada suatu program kegiatan yang telah disusun sehingga seluruh perilaku dan kemampuan dasar yang ada pada anak dapat dikembangkan dengan sebaik-baiknya. Menurut Depdiknas (2002) pendekatan pembelajaran pada anak usia dini hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut.
Pertama, pembelajaran berorientasi pada prinsip-prinsip perkembangan anak yaitu: (1) anak belajar dengan baik apabila kebutuhan fisiknya terpenuhi serta merasakan aman dan tentram secara psikologis; (2) siklus belajar anak selalu berulang; (3) anak belajar melalui interaksi sosial dengan orang dewasa dan anak-anak lainnya; (4) minat dan keingintahuan anak akan memotivasi belajarnya; (5) perkembangan dan belajar anak harus memperhatikan perbedaan individu.
Kedua, berorientasi pada kebutuhan anak. Kegiatan pembelajaran pada anak harus senantiasa berorientasi kepada kebutuhan anak. Anak usia dini adalah anak yang sedang membutuhkan upaya-upaya pendidikan untuk mencapai optimalisasi semua aspek perkembangan baik perkembangan fisik maupun psikis (intelektual, bahasa, motorik, dan sosio-emosional). Dengan demikian berbagai jenis kegiatan pembelajaran hendaknya dilakukan melalui analisis kebutuhan yang disesuaikan dengan berbagai aspek perkembangan dan kemampuan pada masing-masing anak.
Ketiga, bermain sambil belajar atau belajar seraya bermain. Bermain merupakan pendekatan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran pada anak usia TK dan RA. Upaya-upaya pendidikan yang diberikan oleh pendidik hendaknya dilakukan dalam situasi yang menyenangkan dengan menggunakan strategi, metode, materi/bahan dan media yang menarik serta mudah diikuti oleh anak. Melalui bermain anak diajak untuk bereksplorasi, menemukan dan memanfaatkan objek-objek yang dekat dengan anak, sehingga pembelajaran menjadi bermakna bagi anak. Bermain bagi anak merupakan proses kreatif untuk bereksplorasi, dapat mempelajari keterampilan yang baru dan dapat menggunakan simbol untuk menggambarkan dunianya. Ketika bermain mereka membangun pengertian yang berkaitan dengan pengalamannya. Pendidik mempunyai peran yang sangat penting dalam pengembangan bermain anak.
Keempat, menggunakan pendekatan tematik. Kegiatan pembelajaran hendaknya dirancang dengan menggunakan pendekatan tematik dan beranjak dari tema yang menarik minat anak. Tema sebagai alat/sarana atau wadah untuk mengenalkan berbagai konsep pada anak. Tema diberikan dengan tujuan: (1) menyatukan isi kurikulum dalam satu kesatuan yang utuh; (2) memperkaya perbendaharaan kata anak. Jika pembelajaran dilakukan dengan memanfaatkan tema, maka pemilihan tema dalam kegiatan pembelajaran hendaknya dikembangkan dari hal-hal yang paling dekat dengan anak, sederhana, serta menarik minat anak. Penggunaan tema dimaksudkan agar anak mampu mengenal berbagai konsep secara mudah dan jelas.
Kelima, kreatif dan inovatif. Proses pembelajaran yang kreatif dan inovatif dapat dilakukan oleh pendidik melalui kegiatan-kegiatan yang menarik, membangkitkan rasa ingin tahu anak, memotivasi anak untuk berfikir kritis dan menemukan hal-hal baru. Selain itu dalam pengelolaan pembelajaran hendaknya dilakukan secara dinamis. Artinya anak tidak hanya sebagai obyek tetapi juga sebagai subyek dalam proses pembelajaran.
Keenam, lingkungan kondusif. Lingkungan pembelajaran harus diciptakan sedemikian menarik dan menyenangkan sehingga anak selalu betah dalam lingkungan sekolah baik di dalam maupun di luar ruangan. Lingkungan fisik hendaknya memperhatikan keamanan dan kenyamanan anak dalam bermain. Penataan ruang harus disesuaikan dengan ruang gerak anak dalam bermain sehingga dalam interaksi baik dengan pendidik maupun dengan temannya dapat dilakukan secara demokratis. Selain itu, dalam pembelajaran hendaknya memberdayakan lingkungan sebagai sumber belajar dengan memberi kesempatan kepada anak untuk mengekspresikan kemampuan interpersonalnya sehingga anak merasa senang walaupun antar mereka berbeda (perbedaan individual). Lingkungan hendaknya tidak memisahkan anak dari nilai-nilai budayanya yaitu dengan tidak membedakan nilai-nilai yang dipelajari di rumah dan di sekolah ataupun di lingkungan sekitar. Pendidik harus peka terhadap karakteristik budaya masing-masing anak.
Ketujuh, mengembangkan kecakapan hidup. Proses pembelajaran harus diarahkan untuk mengembangkan kecakapan hidup. Pengembangan konsep kecakapan hidup didasarkan atas pembiasaan-pembiasaan yang memiliki tujuan untuk mengembangkan kemampuan menolong diri sendiri, disiplin dan sosialisasi serta memperoleh keterampilan dasar yang berguna untuk kelangsungan hidupnya.
Menurut Tresna (2007: 11), ”paradigma baru pendidikan tinggi seni lebih menekankan kurikulum yang berbasis kompetensi (competences-based curriculum) meskipun basis kurikulum tidak sepenuhnya ditinggalkan”. Paradigma ini menekankan bahwa penguasaan kompetensi menjadi hal yang paling utama dalam proses pendidikan seni di perguruan tinggi. Penguasaan kompetensi dalam pembelajaran seni diarahkan pada kemampuan praktik. Penguasaan praktik yang mantap, akan sejalan dengan penguasaan teori. Berdasarkan paradigma ini, maka metode yang tepat dalam pembelajaran seni di perguruan tinggi seperti PG-PAUD FIP UNP adalah metode demonstrasi dan metode praktek.
Demonstrasi adalah metode yang digunakan untuk membelajarkan peserta dengan cara menceritakan dan memperagakan suatu langkah-langkah pengerjaan sesuatu (Depdiknas, 2004). Demonstrasi merupakan praktek yang diperagakan kepada peserta. Di dalam prosesnya, metode demonstrasi dapat dibedakan berdasarkan tujuannya menjadi: demonstrasi prosesuntuk memahami langkah demi langkah; dan demonstrasi hasil untuk memperlihatkan atau memperagakan hasil dari sebuah proses. Biasanya, setelah demonstrasi dilanjutkan dengan praktek oleh peserta sendiri. Sebagai hasil, peserta akan memperoleh pengalaman belajar langsung setelah melihat, melakukan, dan merasakan sendiri. Tujuan dari demonstrasi yang dikombinasikan dengan praktek adalah membuat perubahan pada ranah keterampilan.
Metode praktik bertujuan untuk melatih dan meningkatkan kemampuan peserta dalam mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya. Kegiatan ini dilakukan di “lapangan”, yang bisa berarti di kelas, di tempat kerja, maupun di masyarakat. Keunggulan dari metode ini adalah pengalaman nyata yang diperoleh bisa langsung dirasakan oleh peserta, sehingga dapat memicu kemampuan mahasiswa dalam mengembangkan kemampuannya. Sifat metode praktek adalah pengembangan keterampilan.

3.   Media Pembelajaran
Pengunaan media dalam pelaksanaan proses pembelajaran bermanfaat diantaranya; menjadikan pelaksanaan proses pembelajaran menjadi lebih lebih menarik dan lebih interaktif karena pengunaan media dapat meningkatkan rasa ingin tahu, sikap positif dan motivasi belajar mahasiswa. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap kecintaan mahasiswa pada ilmu dan proses pencarian ilmu. Disamping itu media juga dapat mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera.
Pembelajaran pada hakekatnya adalah proses komunikasi. Dengan proses komunikasi, pesan atau informasi dapat dihayati oleh orang lain. Agar tidak terjadi kesalahpahaman pengertian terhadap materi pembelajaran maka dalam proses komunikasi perlu digunakan sarana yang dapat membantu mahasiswa, yaitu pemanfaatan media pembelajaran.
Banyak manfaat yang dapat diambil dari pengunaan media pembelajaran. Ada beberapa definisi, diantaranya AECT (Association for Education and Communicatian Technology)(1976) memaknai media sebagai segala bentuk yang dimanfaatkan dalam proses penyaluran informasi. NEA (National Education Association) memaknai media sebagai segala benda yang dapat dimanipulasi, dilihat, didengar, dibaca, atau dibincangkan beserta instrumen yang digunakan untuk kegiatan tersebut. Gagne (1977) menempatkan media sebagai komponen sumber, mendefinisikan media sebagai “komponen sumber belajar di lingkungan mahasiswa yang dapat merangsangnya untuk belajar”.
Briggs dalam Gagne (1979) berpendapat bahwa media harus didukung oleh sesuatu untuk mengkomunikasikan materi (pesan kurikuler) supaya terjadi proses belajar. Wilbur Schramm dalam Ardipal (2008) mencermati pemanfaatan media sebagai suatu teknik untuk menyampaikan pesan, dimana ia mendefinisikan media sebagai teknologi pembawa informasi/pesan instruksional. Yusuf Hadi Miarso dalam Ardipal (2008) memandang media secara luas/makro dalam sistem pendidikan sehingga mendefinisikan media adalah segala sesuatu yang dapat merangsang terjadinya proses belajar pada diri mahasiswa.
Banyak orang membedakan pengertian media dan alat peraga. Namun tidak sedikit yang menggunakan kedua istilah itu secara bergantian untuk menunjuk alat atau benda yang sama (interchangeable). Perbedaan media dengan alat peraga terletak pada fungsinya dan bukan pada substansinya. Suatu sumber belajar disebut alat peraga bila hanya berfungsi sebagai alat bantu pembelajaran saja; dan sumber belajar disebut media bila merupakan bagian integral dari seluruh proses atau kegiatan pembelajaran dan ada semacam pembagian tanggung jawab antara staf pengajar di satu sisi dan sumber lain (media) di sisi lain.
Media dalam arti yang terbatas, yaitu sebagai alat bantu pembelajaran. Hal ini berarti media sebagai alat bantu yang digunakan staf pengajar, antara lain untuk: memotivasi belajar mahasiswa, memperjelas informasi/pesan pengajaran, memberi tekanan pada bagian-bagian yang penting, memberi variasi pengajaran, dan memperjelas struktur pengajaran. Di sini media memiliki fungsi yang jelas yaitu memperjelas, memudahkan dan membuat menarik pesan kurikulum yang akan disampaikan kepada mahasiswa sehingga dapat memotivasi belajarnya dan mengefisienkan proses belajar. Menurut Ardipal (2008), hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan belajar mengajar akan lebih efektif dan mudah bila dibantu dengan sarana visual, di mana 11% dari yang dipelajari terjadi lewat indera pendengaran, sedangkan 83% lewat indera penglihatan. Di samping itu dikemukakan bahwa manusia hanya dapat mengingat 20% dari apa yang didengar, namun dapat mengingat 50% dari apa yang dilihat dan didengar.
Kemampuan media sebagai alat bantu kegiatan pembelajaran berangkat dari teori belajar diketahui bahwa hakekat belajar adalah interaksi antara mahasiswa yang belajar dengan sumber-sumber belajar disekitarnya yang memungkinkan terjadinya perubahan perilaku belajar dari tidak tahu menjadi tahu, tidak bisa menjadi bisa, tidak jelas menjadi jelas, dan sebagainya. Sumber belajar tersebut dapat berupa pesan, bahan, alat, orang, teknik dan lingkungan. Proses belajar tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal. Faktor internal seperti sikap, pandangan hidup, perasaan senang dan tidak senang, kebiasaan dan pengalaman pada diri mahasiswa. Bila mahasiswa apatis, tidak senang, atau menganggap buang waktu maka sulit untuk mengalami proses belajar. Faktor eksternal merupakan rangsangan dari luar diri mahasiswa melalui indera yang dimilikinya, terutama pendengaran dan penglihatan.

C.  PENUTUP
Pendidikan seni memegang peran vital dalam pembelajaran anak usia dini. Aktivitas bermain, sebagai salah satu pendekatan pengajaran paling efektif. Aktivitas ini dapat optimal apabila tenaga pendidik dapat mengkombinasikannya dengan seni. Tidak jarang ditemukan seorang guru menjelaskan nama-nama buah kepada anak didiknya melalui gambar dan disampaikan dengan irama-irama tertentu sehingga membentuk nyanyian. Pendekatan ini terbukti efektif.
Untuk dapat mengoptimalkan penerapan pendidikan seni di taman kanak-kanak dan sekolah, seorang calon guru haruslah dibekali dengan kompetensi-kompetensi yang relevan. Seorang calon guru harus memiliki kemampuan untuk mendemonstrasikan dan mempraktekkan seni, sehingga pada saatnya terjun ke masyarakat pendidikan nantinya telah mempunyai bekal yang memadai sebagai seorang pendidik. Untuk itu, diperlukan revitalisasi kurikulum, metode pembelajaran yang tepat, dan media yang memadai sehingga kualitas proses pembelajaran seni di perguruan tinggi dapat ditingkatkan.

D.  DAFTAR KEPUSTAKAAN
AECT. 1976. Training and Development Handbook: A quide to Human Resource Development. New York: Mc Graw Hill.
Gagne, Robert M. 1977. The Conditions of Learning. Third Edition. New York: Holt Reinhart.
Gagne, Robert M. dan Leslie J. Briggs. 1979. Principles of instructional design. New York: Rinehart and Winston.
Gunara, Sandie. 2007. Pendidikan Musik! ... Pentingkah?. http://Artikel Pendidikan Network- pendidikan musik!___pentingkah.htm. Diakses 10 Oktober 2008.
http://kotakediri.go.id
Kunaefi, Tresna Dermawan, dkk. 2007. Paradigma Baru Pendidikan Tinggi Seni Indonesia. Jakarta: Depdiknas.
Prayitno. 2005. Hubungan Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.


[1] Dosen Program Studi PAUD Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Bengkulu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar