BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Selama ini jika kita mempelajari kota atau lingkungan perkotaan dalam kaitannya dengan warganya, maka kita cenderung melihatnya secara agregatif/perbandingan/membandingkan, apakah dari aspek lingkungan ekonomi, sosial, budaya maupun politiknya. Apalagi makin besar kotanya maka makin kompleks labirinnya dan semakin mudah warganya menjadi tersesat atau disesatkan.
Prediksi bahwa penduduk dunia akan semakin banyak yang tinggal di perkotaan zaman ini semakin menjadi kenyataan. Permasalahan perkotaan yang sedemikian kompleks dengan karakteristik umum yang menonjol, yaitu kemiskinan massal dan pertumbuhan kawasan-kawasan kumuh, memerlukan penanganan-penanganan yang cepat, konseptual, dan komprehensif.
Menyinggung masalah kota yang dalam hal ini adalah kota DKI Jakarta, memang jika kita bandingkan dengan era 1960-an dengan era sekarang ini memang sangat jauh berbeda. Setelah kurang lebih 50 tahun berlalu, rencana induk kota Jakarta sudah mengalami 3 kali penyesuaian dan perlahan-lahan proses konurbasi yang liar telah mengubah Jakarta dari kota metropolitan menjadi megapolitan dan tanpa sadar pula arah perkembangannya juga membawa dampak negatif bagi kehidupan warga kota, bukan saja ruang terbuka semakin terbatas, namun juga telah mengubah prilaku warganya menjadi individualistis, bringas dan konsumtif. Sehingga ada yang mengatakan bahwa budaya Indonesia yang ramah, murah senyum sulit lagi ditemukan di Ibukota Jakarta.
Ketidak mampuan untuk memutuskan mana yang pokok (vital) dan mana yang cabang (asesoris) membuat bencana yang lebih besar telah menghadang didepan dan berbagai masalah baru pun bermunculan. Hal inilah yang kadang menyebabkan Jakarta kurang bersahabat lagi bagi warganya dan warga pendatang. Sehingga saat ini, pola kehidupan warga kota Jakarta pun berubah.
Dari hal inilah penulis mengangkat masalah ini untuk dijadikan karya ilmiah yang berbentuk makalah.
1.2 Rumusan Masalah
Dari sedikit penjelasan diatas, maka muncul masalah yaitu :
a. Apa yang dimaksud dengan psikologi perkotaan ?
b. Apa saja yang menjadi masalah di kota besar seperti Jakarta ?
c. Apa saja yang mempengaruhi pola hidup masyarakat kota Jakarta ?
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan psikologi perkotaan, apa saja yang menjadi masalah di kota seperti Jakarta, dan apasaja yang mempengaruhi pola hidup masyarakat kota Jakarta.
1.4 Metodologi
Metodologi yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metodologi kepustakaan.
BAB II
PEMBAHASAN
PSIKOLOGI LINGKUNGAN PERKOTAAN
2.1 Pengertian Psikologi Perkotaan
Pengertian psikologi mengacu pada uraian sebelumnya adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan peristiwa mental individu, baik manusia maupun hewan dalam hubungan dengan alam sekitar atau lingkungan. Namun, secara spesifik psikologi lebih dikhususkan pada penguraian mengenai tingkah laku manusia. Tingkah laku dalam psikologi melibatkan peristiwa mental yang terjadi dalam manusia itu sendiri. Lingkungan disini mencakup semua manusia, gejala, keadaan barang/ peristiwa-peristiwa di sekitar manusia.
Psikologi Perkotaan adalah bidang ilmu yang menganalisis pengaruh penataan ruang kota terhadap faktor psikologis penghuninya. Dalam hal ini dapat digambarkan sebuah kota besar yang memiliki bangunan yang megah, berpenduduk padat dan memiliki banyak akses dalam memenuhi kebutuhan dan menjadi pusat pemerintahan. Contoh yang cukup nyata dalam hal ini adalah ibukota Indonesia, yaitu DKI Jakarta.
2.2Paradoks Ruang Publik : Kesepian Di Tengah Keramaian
2.2.1 Jakarta Kota Cuek
Bertambahnya pendatang yang tinggal dalam suatu lingkungan dan silih bergantinya orang baru yang datang dari hari kehari, pada akhirnya membuat seseorang tidak lagi memperhatikan orang-orang disekitarnya. Tidak ada hubungan yang erat antar tetangga, bahkan tetangga sebelah rumah pun kita cuek. Waktu dari para warga kota lebih banyak dipakai untuk aktivitas rutin daripada dihabiskan dengan tetangga.
Fenomena cuek ini terjadi tidak hanya dilingkungan hunian, tetapi juga di ruang publik yang seharusnya menjadi tempat untuk memudahkan interaksi sosial. Dahulu, ruang publik seperti taman kota, alun-alun, bahkan ruang publik indoor seperti perpustakaan, menjadi tempat berkumpul dan berinteraksi serta menjadi bagian hidup warga kota.
Dari tahun ke tahun, ruang publik makin menghilang dari budaya warga Jakarta. Waktu luang telah dikomersilisasikan bersamaan dengan semakin berkembangnya internet dan perabotan elektronik lainnya seperti playstation, DVD, video game dan lain-lain. Ketika warga semakin terkurung didalam rumah, mereka pun semakin terisolasi dari sesamanya dan terkotak-kotak dalam jenis pekerjaan tertentu.
2.2.2 Intenet dan Isolasi Sosial
Sejalan dengan perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi ( TIK ), internet pun berkembang dengan pesat dan menjadi gaya hidup baru warga kota. Semakin meningkatnya jumlah orang yang terus menggunakan e-mail bukan hanya untuk korespondensi bisnis, tetapi juga untuk tetap berhubungan dengan para sahabat dan keluarga.
Namun dalam hal ini, internet dapat merusak interaksi sosial. Bentuk-bentuk hiburan seperti musik dan menyaksikan siaran TV langsung memungkinkan terjadinya pengasingan sosial. Memang dengan adanya fasilitas internet kita dapat berkomunikasi dengan orang-orang jarak jauh secara langsung secara online, namun coba kita lihat orang-orang disekitar kita yang jelas-jelas dekat denga kita, mereka terabaikan dari interaksi ini. Dengan kata lain internet (chatting, e-mail dll) mendekatkan yang jauh, namun menjauhkan yang dekat.
2.2.3 Ruang Publik Untuk Interaksi Sosial
Masalah yang terjadi di kota kita sendiri pada zaman modernisasi ini, seperti yang diuraikan diatas harus dipecahkan secara sosial pula. Dalam hal ini diperlukan provisi sosial yang mampu memberikan cara kolektif untuk mencari solusi bagi semua orang yang semakin terisolasi di ruang publik. Desain arsitektur dan unsur-unsur ruang publik dapat digunakan untuk menciptakan lingkungan yang menyenangan dalam melakukan interaksi sosial. Pendekatan fisik ini menjadi efektif hanya jika perhatian orang-orang dipusatkan pada fitur-fitur ruang publik yang menyenangkan. Oleh sebab itu, desain-desain sosiopetal (formasi yang mendorong terjadinya interaksi sosial) melalui pengaturan tempat-tempat duduk di ruang publik juga dapat menciptakan komunikasi sosial yang pada akhirnya menarik orang pada jarak nyaman untuk bercakap-cakap dan memaksa mereka saling berhadapan satu sama lain secara langsung.
2.3Gaya Hidup Warga Kota : Dari Mall ke Mall
2.3.1 Jakarta Kota Mal
Pada tahun 2007 saja, jumlah pusat perbelanjaan modern baik unit-unit tokonya disewakan seperti yang ada di Mall/Plaza/Square maupun yang dijual (strata title) di berbagai ITC/International Trade Centre sudah mencapai 128 buah dengan total luas volume lebih dari 3,4 juta meter persegi, tidak termasuk gudung-gedung pasar tradisional yang dikelola oleh PD Pasar Jaya. Dengan jumlah warga kota sekitar 8,8 juta dan jumlah mall sebanyak 132 (Maret 2008), maka 1 mall dapat menampung 68.000 warga. Dengan luas total volume mall 3,4 juta m2 berarti 1 m2 mall dapat menampung 2,5 orang. Jika 1 m2 dapat menampung 4 orang dalam posisi berdiri, maka seluruh warga Jakarta dapat ditampung dalam pusat-pusat perbelanjaan. Maka tak heran Jakarta merupakan kota yang memiliki indeks kepadatan mall dan luas mall peringkat 2 di Asia.
2.3.2 Pola Hidup Konsumtif
Mall didesain agar warga kota secara tidak sadar mau mematuhi apa yang para kapitalis inginkan dengan cara memanjakan mereka dengan berbagai citra semu, alunan musik yang membuai, pendingin ruangan yang menyejukkan, WC yang mewah, dan sebagainya. Mall memang menghadirkan berjuta kenikamatan yang setiap hari dapat dinikmati oleh warga kota padahal kenikmatan itu semu adanya. Makanan cepat saji menawarkan kemudahan, tetapi juga sekaligus penyakit dan gangguan kesehatan. Minum kopi di mall menawarkan gengsi, tetapi juga sekaligus menguras isi kantong karena secangkir kopi di Cafe setara dengan 8 gelas kopi di warung tegal dan 20 sachet kopi jika buat sendiri di rumah. Warga kota menjelma menjadi manusia mall yang tidak memiliki kesadaran sendiri, tetapi semata-mata telah terprogram perilakunya, pergi ke mall, bawa uang, lihat-lihat, belanja, nongkrong, uang habis, lalu pulang.
Disamping itu, pola hidup konsumtif ini juga dipengaruhi oleh tuntutan dari gaya hidup baru yang mementingkan penampilan fisik sebagai sari pati dan nilai utama. Maka tak heran bila warga kota terobsesi dengan hal-hal yang “harus lebih”, harus lebih bagus, harus lebih mahal dan diberikan citra mewah.
2.3.3 Pembunuhan Karakter Massal Di Mall
Di kota sebesar Jakarta memang banyak orang yang sukses dengan harta yang melimpah dan kedudukan tinggi. Namun sayang, banyak diantar mereka hanya memaknai sukses itu dari jumlah materi dan penampilan luarnya saja. Banyak yang tidak menyadari kesuksesan material justru biasanya merupakan kegagalan sosial, mental dan spiritual. Karena status yang tinggi orang menjadi enggan mendekat dan akhirnya menjadi dijauhi oleh tetangga, bahkan saudara dan keluarga.
Dengan materi yang melimpah, mereka sesegera mungkin dan mereka pun menyerbu mall, sebuah tempat yang mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan gaya hidup konsumtif, sehingga membuat sebagian orang menjadi materialistis, selalu berfikir bagaimana mendapatkan uang banyak dan kedudukan tinggi sehingga untuk mendapatkannya akhirnya menghalalkan segara cara walaupun harus mengorbankan tubuh, moral, dan iman. Sikut kanan sikut kiri, injak bawah, jilat atasan, nyatut didepan, korup di belakang menjadi hal yang lazim terjadi dalam kehidupan warga Jakarta.
Lebih jauh lagi, warga kota menderita deindividuasi, suatu kondisi psikologis dimana terjadi penurunan kesadaran diri sehingga individu akan melakukan segala hal yang tidak akan dilakukan jika sedang sendiri. Diskon, obral, dan cuci gudang telah mengondisikan warga kota yang berada dalam keramaian mall untuk berbodong-bondong membeli segala sesuatu yang ditawarkan mall tanpa pikir panjang lagi. Hal ini menyebabkan kehilangan control diri.
2.4Stres Perkotaan : Kegilaan Warga Kota
2.4.1 Kemacetan Lalu Lintas dan Polusi Udara
Stresor lingkungan perkotaan merupakan stresor gabungan (multiple stresor) yang datangnya bertubi-tubi. Misalnya, kemacetan lalu lintas yang didalamnya termasuk kebisingan dan kesesakan sebagai stresor utama. Disamping itu, stresor lainya seperti dikejar-kejar waktu, ancaman kriminalitas, sampai suhu udara yang panas.
Penelitian-penelitian laboraturium menunjukkan bukti bahwa perubahan suasana hati dipercepat oleh polusi udara, termasuk didalamnya asap rokok, bau badan yang menyengat juga dapat menimbulkan stress. Kondisi stresfull ini sangat mudah ditemui di terminal, stasiun, didalam bis kota, kereta api dan kendaraan umum lainnya yang biasanya penuh dan sesak oleh penumpang yang padat. Jadi tidak heran penumpang kendaraan umum memiliki prilaku yang sembarangan, serobot sana serobot sini, lompat sana lompat sini, meludah sana meludah sini, sebagai bentuk mekanisme penyaluran stress yang mereka hadapi sehari-hari. Tidak jarang fenomena main hakim sendiri muncul terhadap peristiwa-peristiwa yang sangat sepele sebagai sarana penyaluran stress.
2.4.2 Sampah dan Banjir Tahunan
Telah banyak penelitian mengenai reaksi psikologis terhadap jenis-jenis polusi, termasuk didalamnya limbah beracun dan lokasi-lokasi tempat pembuangan sampah warga. Batas-batas wilayah yang terpolusi oleh limbah atau sampah mempengaruhi proses identifikasi sosial masyarakat. Media massa sering kali mengidentifikasi sebuah lokasi dengan adanya pembuangan limbah, sehingga memberikan kesan negatif bagi warga yang tinggal di daerah tersebut. Kondisi ini disamping secara fisik menjadi sumber penyakit yang hakikatnya juga stresor, tetapi secara psikologis citra buruk sebuah daerah juga menciptakan tekanan sosial yang lain dan membuat warga disana merasa terbuang dan menjadi rendah diri sehingga berimplikasi pada prilaku mereka sehari-hari.
Sampah merupakan masalah klasik yang tak pernah tuntas. Padahal banjir merupakan stresor dan mengakibatkan trauma panjang bagi manusia. Kegiatan ekonomi lumpuh dan banyak keluarga menjadi pengungsi ketika datang banjir. Dari tahun ke tahun banjir di Jakarta semakin tinggi dan area penyebarannya semakin luas. Alasan lain yang menyebabkan banjir adalah semakin berkurangnya daerah resapan air akibat pembangunan mall, apartemen dan berbagai proyek lainnya, tanpa memperhatikan dampak ekologi dari proyek mereka.
Kebersihan lingkungan merupakan salah satu tolok ukur kualitas hidup masyarakat. Masyarakat yang telah mementingkan kebersihan lingkungan dipandang sebagai masyarakat yang kualitas hidupnya lebih tinggi dibandingkan masyarakat yang belum mementingkan kebersihan. Salah satu aspek yang dapat dijadikan indikator kebersihan lingkungan kota adalah sampah. Bersih atau kotornya suatu lingkungan tercipta melalui tindakan-tindakan manusia dalam mengelola dan menanggulangi sampah yang mereka hasilkan.
Rangkaian tindakan warga kota terhadap sampah merupakan proses yang dapat dibagi ke dalam lima episode perilaku sebagai berikut:
a. Episode-Produksi, berbagai kegiatan manusia yang menggunakan benda-benda (materi) pada akhirnya akan menghasilkan suatu produk tertentu berikut benda-benda sisa atau barang-barang bekas yang tidak diperlukan lagi. Benda-benda tersebut berpotensi menjadi sampah bila tidak digunakan lagi.
b. Episode-Buang, rangkaian tindakan menyingkirkan sampah ke suatu tempat atau menjauhkannya dari diri pelaku.
c. Episode-Kumpul, rangkaian tindakan dimulai dari menyapu kemudian menggabungkan atau mengumpulkan sampah ke suatu tempat.
d. Episode-Angkut, rangkaian tindakan memindahkan sampah yang sudah terkumpul dengan menggunakan alat angkut seperti gerobak sampah, mobil pick-up bak terbuka atau truk sampah, ke suatu tempat pembuangan sampah.
e. Episode-Olah, rangkaian tindakan terhadap sampah yang bertujuan mengurangi, menghilangkan dan merubahnya menjadi benda yang bermanfaat.
2.4.3 Kriminalitas dan Tindakan Kekerasan
Kekerasan telah secara tidak proporsional menghantui kehidupan perkotaan karena warga koata mengalami tindak kejahatan dan kekerasan, seperti perkosaan, penganiayaan, perampokan, penyerangan, dan pencurian yang lebih kejam dari warga pedesaan atau pinggiran kota.
Untuk memahami penyebab tindakan kekerasan dan dampak tindakan kekerasan, para ahli psikologi melakukan strategi dan pencegahan yang terdiri dari 3 kategori :
a. Intervensi komunitas untuk mengurangi tindak kekerasan termasuk siskamling.
b. Intervensi keluarga untuk memantau pola asuh dan aspek lain dari fungsi keluarga, mengurangi resiko keterlibatan anak dalam tindakan kekerasan, dan mempromosikan perkembanangan positif anak/remaja.
c. Intervensi individual, yang sering dilakukan untuk anak/remaja dalam mengubah pemahaman mereka terhadap tindakan kekerasan.
2.5 Mewujudkan Masyarakat Perkotaan Komunikatif
Teori Emil Durkheimmengenai masyarakat berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Dari waktu ke waktu, teori itu mengalami perkembangan dan perubahan bahkan ada yang turut tenggelam bersama dengan tumbuhnya teori baru. Dalam konteks itu, kita tidak bisa menyangkal bahwa perubahan-perubahan teori mengenai masyarakat itu terjadi di dalam suatu masyarakat yang dinamis dengan tingkat mobile yang tinggi. Perhatian Durkheim yang utama adalah bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas dan koherensinya di masa modern, ketika hal-hal seperti latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak ada lagi. Untuk mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat modern, Durkheim berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena sosial. Bersama Herbert Spencer, Durkheim adalah salah satu orang pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan mengacu kepada fungsi yang mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan masyarakat suatu posisi yang kelak dikenal sebagai fungsionalisme. Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih daripada sekadar jumlah dari seluruh bagiannya.
Dalam bukunya “Pembagian Kerja dalam Masyarakat” (1893), Durkheim meneliti bagaimana tatanan sosial dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat. Ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja, dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Ia berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisional bersifat mekanis dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat tradisional, kata Durkheim, kesadaran kolektif sepenuhnya mencakup kesadaran individual (norma-norma sosial kuat dan perilaku sosial diatur dengan rapi). Sedangkan masyarakat modern menurut Durkheim, pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas organik. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam masyarakat yang mekanis misalnya, para petani hidup dalam masyarakat yang swa-sembada dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang sama. Dalam masyarakat modern yang organik, para pekerja memperoleh gaji dan harus mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu (bahan makanan, pakaian, dll) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian kerja yang semakin rumit ini, demikian Durkheim, ialah bahwa kesadaran individual berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran kolektif, seringkali malah berbenturan dengan kesadaran kolektif.
Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan dominasi dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis hukum seringkali bersifat represif. Sebagai contoh pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu; hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organik, hukum bersifat restitutif, yaitu bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks.
Proses perubahan dan pergeseran yang terjadi di masyarakat dapat terjadi ketika sistem regulasi sosial menjadi semakin longgar. Sebagai akibat dari tidak berfungsinya regulasi sosial di dalam masyarakat secara baik, maka terjadilah pertentangan-pertentangan seperti masyarakat tidak lagi mengikuti norma-norma yang berlaku, mulai meninggalkan adat istiadat, dan berakibat masyarakat membangun sistem regulasi sosial yang baru, dalam arti di sini adalah membangun suatu masyarakat tanpa hukum atau normless society. Untuk membuat suatu perubahan dalam masyarakat perkotaan yang mempunyai sifat individualis, masyarakat tidak mau bekerjasama dengan lingkungan sekitarnya adalah dengan cara mengolah kesadaran kolektif mereka untuk menata peran sosial dan membangun regulasi sosial yang lebih beradab. Perlu diterapkan regulasi sosial yang lebih longgar atau aturan yang fleksibel yang bisa diterima oleh masyarakat perkotaan agar masyarakat tersebut tidak lagi menjadi egois, atau individualis.
Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya pembagian kerja menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan semakin meningkatnya sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial, yang akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosial yang mengatur perilaku. Durkheim menamakan keadaan ini sebagai anomie. Dari istilah anomie muncullah segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol adalah bunuh diri. Hal ini dapat dirumuskan bahwa penyebab masyarakat beralih dari masyarakat desa menuju masyarakat modern adalah karena adanya pertambahan penduduk yang besar yang memaksa mereka untuk melakukan perubahan. Selain itu adanya kepadatan moral masyarakat, serta pertambahan komunikasi dan interaksi antara para anggota.
2.6Kota dan Masalahnya : Psikologi Perkotaan Sebagai Solusi
2.6.1 Urban Sprawl
Awalnya urban sprawl dikenal juga sebagai suburban sprawl, yaitu melebarnya daerah pinggiran kota ke lahan-lahan pedesaan sekelilingnya secara horizontal. Pelebaran ini memiliki beberapa masalah, yaitu :
a. Menciptakan penduduk yang tergantung pada kendaraan.
b. Penggunaan lahan yang boros karena kepadatan yang rendah.
c. Zoning tunggal yang menyebabkan terjadinya segregasi fungsi kota, misalnya terjadi pengembangan untuk hunian (wisma) saja, sementara kegiatan ekonomi (niaga), rekreasi (suka), dan penyempurna tidak tersedia dengan memadai atau harus ditempuh dengan kendaran karena terlalu jauh.
Perkembangan kota yang tak terkontrol dan melebar kemana-mana menimbulkan banyak masalah psikologis, terutama yang terkait dangan stress berkelanjutan dan keletihan kronis akibat perjalanan panjang setiap hari. Dampak negatif lain urban sprawl, adalah sebagai berikut :
Ø Menurunnya kesehatan membuat warga sangat tergantung dengan kendaraan sehingga meningkatkan obesitas dan penyakit darah tinggi.
Ø Kerusakan lingkungan, terutama meningkatnya polusi dan ketergantungan pada bahan bakar fosil sehingga udara udara dipinggir kota menyumbang emisi karbon lebih besar dari warga.
Ø Menurunnya modal sosial karena menciptakan penghalang jarak untuk interaksi sosial dan cenderung mengganti ruang-ruang terbuka publik dengan ruang-ruang komersil.
Ø Berkurangnya kualitas serta kuantitas tanah dan air akibat pemakaian lahan yang besar sering kali menghilangkan lahan pertanian dan merusak ekosistemnya serta mengurangi daerah tangkapan air.
Ø Meningkatnya biaya infrastruktur dimana jalan-jalan tol yang lebar terpaksa harus dibuat lengkap dengan penerangan, drainase, serta sarana parker.
2.6.2 Jentrifikasi
Jentrifikasi adalah suatu fenomena dimana sebuah lingkungan fisik memburuk lalu direvitalisasi sehingga terjadi peningkatan nilai property disertai gelombang kedatangan warga kelas menengah-atas yang baru menggantikan warga asli yang miskin.
Bagi yang pro, jendrifikasi merupakan cara mengatasi permasalahan kota yang timbul akibat urban sprawl. Dari sisi produksi, jentrifikasi mampu menghilangkan kesenjangan aliran kapital dan proses pembangunan yang tak seimbang antara pusat kota dan pinggiran kota. Di sisi konsumsi, jentrifikasi mampu meningkatkan ekonomi perkotaan dan mencegah devaluasi nilai yang terjadi dalam kota akibat perpindahan modal ke pinggiran kota.
Bagi yang kontra, jentrifikasi membawa dampak sosial yang serius, seperti segregasi kelas sosial didalam kota, perubahan demografi kota akan merubah ukuran rumah tangga dan ketahanan lingkungan, meningkatnya nilai property yang menaikkan biaya perumahan, pajak tanah dan bangunan bagi warga sekitarnya, kecenderungan terjadinya praktik penggusuran, perubahan peruntukan lahan, dan pembebasan lahan secara membabi buta oleh para pengembang swasta.
2.6.3 Kesehatan Mental Warga Kota
Kesehatan mental tidak hanya berhubungan dengan karakteristik individu dan rumah tangga, tetapi juga dengan fitur-fitur sosial, konteks, dan ekologi dimana individu berada.
Menurut Krieger dkk (2003), sebuah daerah miskin di wilayah perkotaan dapat dapat dilihat dalam dua cara.
a. Konteks, yaitu warga di daerah miskin memiliki kesehatan fisik dan mental yang buruk karena konsentrasi kemiskinan menciptakan interaksi-interaksi yang membahayakan.
b. Kondisi lingkungan, yaitu daerah miskin yang memiliki sedikit fasilitas umum yang baik dan biasa berdekatan dengan lokasi industri sehingga memberikan dampak negatif bagi kesehatan.
Ellen, Mijanovich, dan Dillman (2001) menyimpulkan bahwa kualitas lingkungan yang buruk menurunkan tingkat kesehatan mental melalui 2 tahap, yaitu : secara langsung akan mempengaruhi perilaku, sikap, dan pemanfaatan layanan kesehatan, dan penglumrahan yang secara jangka panjang berhubungan dengan akumulasi stress dan sumber daya lingkungan yang terbatas.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Psikologi Perkotaan adalah bidang ilmu yang menganalisis pengaruh penataan ruang kota terhadap faktor psikologis penghuninya. Dalam hal ini dapat digambarkan sebuah kota besar yang memiliki bangunan yang megah, berpenduduk padat dan memiliki banyak akses dalam memenuhi kebutuhan dan menjadi pusat pemerintahan.
Di perkotaan yang memiliki penduduk yang padat, tentu akan memiliki pula masalah-masalah yang kompleks yang tak ada habisnya. Diantaranya adalah masalah kemiskinan, sampah, banjir, kemacetan lalu lintas. Kemudian masalah yang menyangkut perubahan psikologi yang terjadi di masyarakat perkotaan yang cenderung individualistis akibat beberapa hal yang mempengaruhinya. Diantaranya terlalu terbuai oleh perkembangan teknologi yang merubah pola pikir masyarakat perkotaan. Keingianan warga kota yang ingin selalu tampil “lebih”, ingin lebih mewah, ingin lebih mahal, ingin lebih berbeda dan lain-lain.
Jadi, agar dapat meminimalisir kesemrautan kota, harus ada penataan kota agar nyaman untuk dihuni oleh warganya, dengan cara merancang kembali arsitektur kota sehingga desain kota menuju kea rah sejahtera.
3.2 Saran
Karena perkotaan memiliki berbagai macam permasalahan yang komplek, maka hendaknya harus ada kebijakan-kebijakan yang dapat memaksimalkan potensi suatu perkotaan yang ada. Kemudian hendaknya pemerintah kota Jakarta menata kembali desain kota yang lebih nyaman. Terutama pemukiman-pemukiman liar yang sangat berpotensi merusak tatanan kota, kemudian harus ada daerah resapan air yang maksimal, jangan hanya gedung-gedung tinggi yang dibangun.
DAFTAR PUSTAKA
Formica, M.J. 2010. The Science, Psychology and Metaphysics of Prayer. Diambil dari : http://www.psychologytoday.com/blog/enlightened-living/201007/the-science-psychology-and-metaphysics-prayer
Halim, DK. 2008. Psikologi Lingkungan Perkotaan. Jakarta : Bumi Aksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar